Selasa, 25 Agustus 2009

Pendidikan Gratis Sulit Diwujudkan

ENDE, KOMPAS.com — Keinginan pemerintah menyelenggarakan pendidikan gratis untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah sulit diwujudkan. Hal ini antara lain disebabkan terbatasnya APBD di sejumlah daerah.

Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, Frans Hapri mengatakan, siswa sekolah dasar dan menengah semestinya tidak lagi dibebani berbagai pungutan.

Mereka seharusnya tinggal sekolah saja. Namun, terbatasnya APBD menyebabkan pungutan tetap dilakukan oleh komite sekolah. Dananya kemudian dipakai untuk memenuhi sarana dan prasarana sekolah yang belum dapat dipenuhi oleh APBD ataupun APBN,” kata Frans Hapri, Rabu (22/7) di Ende.

Menurutnya, meski sudah ada dana bantuan operasional sekolah (BOS) dari APBN, jumlahnya sangat kecil dan tak bisa memenuhi kebutuhan operasional sekolah.

Di Papua, berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 5 Tahun 2009, pendidikan gratis berlaku untuk pendidikan dasar dan peserta didiknya warga asli Papua dari keluarga tidak mampu. Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Provinsi Papua James Modouw di Jayapura menuturkan, pendidikan gratis bukan berarti semuanya gratis.

”Orangtua dan masyarakat tidak dapat lepas tangan dari tanggung jawab peningkatan pendidikan anak,” ujarnya.

Biaya pendidikan yang ditanggung pemerintah melalui BOS, lanjut James, masih belum bisa memenuhi semua kebutuhan sekolah. Oleh karena itu, James mengakui masih ada pungutan di sekolah. Namun, ia mengingatkan, pungutan harus sesuai dengan tingkat kemampuan orangtua murid dan tak memaksa.

Keluarga tidak mampu

Di Nusa Tenggara Timur, dana pendidikan gratis yang dialokasikan melalui program BOS pada 2009 adalah sebesar Rp 500 miliar.

”Alokasi dana tersebut diprioritaskan bagi siswa dari keluarga tidak mampu. Adapun siswa dari keluarga mampu dapat dipungut biaya, tetapi jumlahnya sesuai kesepakatan komite sekolah,” kata Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga NTT Toby Uly di Kupang.

Di Sulawesi Selatan, pendidikan gratis telah dirintis sejak 2008 dengan sinergi antara Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan 23 pemerintah kabupaten/kota setempat.

Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Protokol Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan Agus Sumantri menyebutkan, 40 persen dari anggaran pendidikan gratis ditanggung dari APBD Provinsi Sulsel, sedangkan 60 persen lainnya bersumber dari APBD kabupaten/kota.

Perbesar Disparitas
Secara terpisah, pengamat pendidikan, Darmaningtyas, mengatakan, pendidikan gratis yang pelaksanaannya setengah hati melalui pemberian BOS malah memperbesar ketimpangan kualitas pendidikan. Pemerintah harus segera menghitung kembali besaran BOS yang sesuai dengan kebutuhan.

Seperti diwartakan sebelumnya, muncul kekhawatiran orangtua bahwa anak mereka tidak mendapatkan pendidikan berkualitas setelah program pendidikan gratis. Sejumlah penyelenggara sekolah dasar dan menengah pertama negeri juga kesulitan memberikan pelayanan pendidikan berkualitas setelah adanya kampanye pendidikan gratis karena hanya mengandalkan dana BOS yang terbatas. Pungutan sudah dilarang.

Darmaningtyas mengatakan, bahwa harus disadari benar adanya perbedaan standar biaya antara kota dan desa serta daerah di Jawa dan luar Jawa. Adapun dana BOS yang diturunkan pemerintah besarannya seragam dan belum dapat menutupi seluruh biaya operasional sekolah.

Disparitas semakin dipertajam dengan berbeda-bedanya komitmen pemerintah daerah. Pemimpin di daerah-daerah yang sudah mempunyai niat politik tinggi untuk membangun pendidikan mampu menyediakan dana pendamping BOS sehingga sekolah tidak hanya bergantung pada BOS.

Namun, tidak demikian halnya dengan daerah yang komitmennya terhadap pendidikan rendah. Sekolah harus mengelola dana terbatas itu karena dilarang memungut iuran.

Hal senada diungkapkan oleh Sekretaris Umum Institute for Education Reform Universitas Paramadina Abduhzen. Kebijakan pendidikan dasar gratis diturunkan tanpa studi yang layak.

”Seharusnya benar-benar dikaji satuan biaya per siswa per tahun per daerah sehingga ada landasan yang jelas. Pelaksanaannya harus sesuai dengan hasil penghitungan tersebut,” ujarnya.

(KOR/SEM/ICH/NAR/ITA/INE)

Sumber : KOMPAS.COM
http://edukasi.kompas.com/read/xml/2009/07/23/
09562150/pendidikan.gratis.sulit.diwujudkan

Senin, 24 Agustus 2009

Cegah Pencemaran Lingkungan Dengan Hukum Administrasi


PDF Print E-mail
ImageKasus kerusakan lingkungan kian hari kian memprihatinkan. Bahkan ketika otonomi daerah diberlakukan, kondisi lingkungan hidup di Indonesia justru semakin mengkhawatirkan. Melihat kondisi ini, Kementerian Lingkungan Hidup mengajak seluruh jajaran Pemerintah Daerah untuk berperan aktif dalam upaya mencegah terjadinya pencemaran lingkungan. Salah satu jalan yang dapat ditempuh adalah dengan tegas menegakkan hukum administrasi.
Demikian disampaikan oleh Asisten Deputi Kementerian Lingkungan Hidup, Inar Ichsana Ishak, dalam sebuah acara dengan jajaran Pemda di Palangkaraya, pada Selasa (24/7).

Namun demikian ia mengingatkan bahwa penegakan hukum administrasi tidak seperti pidana. Menurutnya, hukum administrasi ini dapat direkayasa. Untuk itu sebelum terjadi pencemaran harus direncanakan dulu apa saja yang harus dikerjakan atau diawasi.

"Kita sudah harus merencanakan apa saja yang harus diawasi sebelum terjadi pencemaran. Dengan demikian, jika terjadi kasus pencemaran, pelakunya dapat langsung ditindak," ujarnya.

Ia juga mengungkapkan bahwa penegakkan hukum administrasi menjadi lebih penting daripada penegakan hukum pidana dalam kasus pencemaran lingkungan. Ada perbedaan mendasar antara hukum administrasi dan pidana.

Kalau hukum administrasi dapat diterapkan sebelum ada kejadian, atau ketika sudah ada indikasi terjadinya pencemaran. Berbeda dengan hukum pidana yang hanya boleh diterapkan setelah ada kejadian.

Di samping itu, dalam penegakan hukum administrasi juga masih bisa dilakukan tawar-menawar, serta langkah penyelesaiannya juga bermacam-macam, yang tidak ditemukan dalam hukum pidana.

Artinya, jika pelaku tindak pencemaran lingkungan mendapat sanksi administrasi, misalnya denda atau pembekuan sementara dari suatu usaha, yang bersangkutan masih dapat melakukan perbaikan terhadap lingkungan yang rusak akibat perbuatannya.

"Nah, ketika hukum administrasi ternyata tidak berjalan dengan baik dan efektif, maka dipergunakan sarana sanksi pidana sebagai jalan terakhir," tegasnya.

Ia memberi satu contoh. Apabila seseorang yang dipidana penjara selama 10 tahun karena melakukan pencemaran lingkungan, maka dari sisi lingkungan hidup tidak menjadi hal penting. Hal itu karena kerusakan lingkungan telah terjadi dan tidak mungkin berubah dengan putusan pidana yang diberikan.

Oleh karena itu, pejabat pemerintah di daerah sudah harus mulai bergerak untuk menyusun perencanaan dalam mencegah terjadinya pencemaran lingkungan. Misalnya, saat kemarau ini biasanya akan terjadi kebakaran hutan. Jadi perencanaan itu harus sudah dimulai yakni apa saja yang bisa dilakukan pemerintah, stakeholder terkait, masyarakat, dan perusahaan.

"Dengan demikian kasus kebakaran hutan dan lahan itu tidak akan terjadi. Apabila masih ada perusahaan atau masyarakat yang melakukan pembakaran, maka tindakan sanksi pidana dapat diterapkan," katanya.

Menurut Ishak, para pejabat pemerintah harus dapat mengawasi dan memantau agar tidak terjadi kebakaran di perkebunan. Caranya adalah memeriksa perusahaan perkebunan dengan menyiapkan para pejabat pengawas.

Lebih lanjut Ishak menjelaskan bahwa upaya penegakan sanksi administrasi oleh pemerintah secara ketat dan konsisten sesuai dengan kewenangan yang ada akan berdampak bagi penegakan hukum dalam rangka menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup.

"Pemerintah saat ini juga masih menyiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berpotensi menjerat pejabat publik yang melakukan kesalahan dan dianggap bertanggung jawab dalam kerusakan lingkungan hidup," tambahnya.

Pejabat publik yang dimaksud adalah pejabat daerah dan pusat yang melakukan kesalahan antara lain dalam hal penerbitan surat izin operasional, pembuatan persyaratan perizinan, dan ketidakpatuhan terhadap Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

Dalam RUU tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang baru ini menurutnya, akan memasukkan pasal yang mengatur pelanggaran oleh pejabat publik. Ini merupakan langkah maju karena UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup yang ada sekarang ini belum mengatur hal tersebut.

Sementara itu, UU Lingkungan Hidup yang berlaku saat ini belum mengatur pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat publik. Yang ada hanya memungkinkan untuk menindak pimpinan perusahaan yang melakukan kejahatan lingkungan. (Setyo Rahardjo).

Sumber: www.beritabumi.or.id

Kerusakan Hutan Di Indonesia Sangat Memprihatinkan

Sesuaikan ukuran huruf: Perkecil font Perbesar font
foto berita artikel Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X, menginginkan adanya penyelesaian mengenai berbagai krisis di Indonesia, seperti emisi gas rumah kaca, deforestrasi, perikanan, kualitas air, konservasi alam, dan keharmonisan hubungan alam dengan manusia. Untuk lingkungan hidup sendiri merupakan masalah besar di Indonesia terutama di masa mendatang.

Menurut survey Environmental Performance Index (EPI) 2008 dari Universitas Yale, Indonesia kini berada di urutan ke-102 dari 149 negara yang berwawasan lingkungan, sedangkan Malaysia menempati peringkat 26, jauh di atas Indonesia. Sultan mengungkapkan bahwa masalah lingkungan selalu berhubungan dengan ekonomi, politik, social, dan pengelolaan sumber daya alam.

Dengan melihat masalah dan tantangan yang besar, menurut Sultan, diperlukan kepemimpinan global untuk mengatasi banyak krisis di dunia, khususnya Indonesia. Menurut Sultan, kepemimpinan global harus mencapai tujuan utama yang dirumuskan dalam Millennium Development Goals (MDG). Sultan menambahkan, tipe pemimpin yang dibutuhkan di Indonesia mungkin adalah pemimpin yang peduli dengan lingkungan atau yang disebut “eco-seksual”. Eco-Seksual, menurut Sultan, merupakan jenis lain dari tipe metroseksual dimana cenderung ke penampilan individu dan pola konsumtif.

Sultan menjelaskan, dalam menghadapi tantangan yang begitu besar mengenai pengelolaan lingkungan yang benar, diperlukan wawasan mengenai pembangunan sisi ekologi, selain pembangunan berkelanjutan. Selain itu, Sultan menganjurkan agar manusia Indonesia berhenti menyakiti alam atau perusakan lingkungan hidup lainnya, kemudian bersama pemerintah, mengesahkan peraturan larangan perusakan lingkungan hidup. Hal yang tak kalah pentingnya, menurut Sultan, bersikap jujur dan tidak menerima uang suap dari perusahaan yang mencoba untuk merusak lingkungan hidup. Hal ini dikarenakan, bagaimanapun juga, anak cucu Indonesia nantinya juga membutuhkan lingkungan hidup yang lebih baik. (h_n)

Vote for the earth

Sesuaikan ukuran huruf: Perkecil font Perbesar font
foto berita artikel Global warming atau pemanasan global kini mulai terasa dampaknya bagi masyarakat seluruh dunia. Perubahan iklim bumi yang semakin mengkhawatirkan akhir-akhir ini sudah sepatutnya menjadi keprihatinan kita bersama. Memanasnya suhu bumi yang menjadi tempat tinggal kita telah membawa banyak kerusakan alam yang kita huni, mulai dari melelehnya gunung-gunung es (gletser) di kutub, hingga lubang pada lapizan ozon ataupun kebakaran hutan yang berdampak pada kerusakan ekosistem dunia.

Menanggapi hal ini, WWF melalui Direktur Jenderalnya, Archbishop Desmond Tutu dan James Leape, mengajak masyarakat di seluruh dunia untuk menyerukan kepedulian mereka atas penyelamatan bumi. Tidak hanya untuk generasi yang saat ini ada, namun juga untuk kelangsungan bumi bagi generasi mendatang.

Adapun bentuk seruan yang akan dilakukan secara bersamaan oleh seluruh masyarakat di dunia ini adalah dengan mematikan listrik selama 60 menit atau 1 jam pada tanggal 28 Maret 2009. Untuk Indonesia sendiri, masyarakat yang peduli akan penyelamatan bumi ini diminta kesediaannya untuk mematikan listrik terhitung mulai pukul 20.30 WIB hingga 21.30 WIB (60 menit). Diharapkan dengan aksi massal kepedulian lingkungan ini akan mengetuk hati seluruh pemimpin dunia maupun para pemilik usaha untuk lebih memperhatikan dan mengedepankan penyelamatan bumi sebagai lingkungan tempat kita hidup saat ini maupun bagi generasi yang akan datang.

Perubahan iklim dunia sebenarnya merupakan alarm keras bagi seluruh masyarakat dunia mengenai bertambah parahnya kondisi bumi yang kita diami, sekaligus merupakan peringatan bagi kita untuk bersegera mengambil inisiatif untuk menyelamatkan bumi sebelum lebih terlambat.(dna)